Kalau begini terus, aku ingin mati saja, Bu," kata Muhammad Fahri Asidiq, bocah yang masih berusia 11 tahun kepada ibunya, Sri Astati Nursani (32).
Kata-kata tersebut diucapkan Fahri sambil menyobek foto-foto masa
kecilnya saat masih bisa berjalan normal. Ucapan pilu anaknya tersebut
membuat Sri sangat sedih.
Kalimat pesimistis itu terlontar dari mulut bocah yang tinggal di
Jalan Cipadung RT 02 RW 04, Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Sebab, dia sudah merasa tak tahan dengan rasa sakitnya di tulang.
"Kalau Fahri batuk, tulangnya pasti ada patah atau geser," tutur Sri saat ditemui Kompas.com di kediamannya, Kamis (6/4/2017).
Sejak usia 4 tahun, tulang Fahri mendadak menjadi rapuh akibat
mengidap penyakit osteogenesis imperfecta hingga tidak kuat lagi
menopang berat tubuhnya sendiri. Penyakit ini yang membuat Fahri tidak
mampu berjalan seperti anak normal pada umumnya.
Selain itu, tulang-tulangnya juga mudah patah. Sudah tidak terhitung jumlah tulang Fahri yang patah baik disengaja atau tidak.
Yang masih diingat oleh Sri di antaranya adalah 6 patahan di tulang
rusuk depan, empat patahan di tulang kering dan sejumlah patahan di bahu
kiri dan kanan, rusuk belakang, tangan kiri dan kanan, siku kiri dan
kanan serta bagian paha.
"Kalau tulangnya ada yang patah Fahri pasti nangis karena tulangnya
kan saling tumpang. Suaranya (tulang patah) pasti terdengar cukup keras.
Waktu itu cuma kena mainan, patah," kata Sri.
Saking seringnya mengalami patah tulang, Fahri terkadang
menyembunyikan rasa sakitnya agar ibunya tidak khawatir dan cemas.
Diam-diam tulang yang patah diurutnya sendiri dengan tangannya hingga
kembali tersambung seadanya.
"Biasanya kalau Fahri minta botol mau kencing, itu pasti ada apa-apa sama Fahri," tuturnya.
Sri memiliki kesabaran yang cukup besar untuk merawat anaknya seorang
diri setelah suaminya menceraikan perempuan itu saat usia Fahri masih
berusia 4 tahun.
Setiap hari, Sri menjajakan tisu di lokasi-lokasi wisata di Kota Bandung.
Dalam satu hari, Sri bisa menghasilkan Rp 200.000. Setengah
penghasilannya untuk biaya pengobatan, terapi dan perawatan Fahri,
sementara setengahnya untuk makan sehari-hari.
Sri hanya bisa pasrah dan terus berupaya merawat anaknya.
"Dengan kondisi seperti ini, saya cuma berharap anak saya bisa
diterima masyarakat dan disamakan dengan anak-anak lainnya," harap Sri.
(KOMPAS.com/ Kontributor Bandung, Putra Prima Perdana