Sejak dua pekan lalu, perkampungan muslim Rohingya di Distrik Maungdau, Rakhine, Myanmar, diserbu oleh militer Myanmar.
Tanpa ampun, mereka menembaki orang, membakar rumah pemukiman miskin di distrik tersebut sehingga menimbulkan reaksi internasional.
Warga pun kocar-kacir dan melarikan diri sejauh-jauhnya dari kemarahan tentara yang balas dendam setelah penyerangan 30 pos militer dan menewaskan 9 polisi.
Korban berjatuhan. Menurut PBB, jumlahnya diperkirakan mencapai 1.000 orang, baik muslim Rohingya, pasukan Myanmar atau pasukan lokal Rakhine serta warga sipil Rakhine lainnya.
Puluhan ribu, bahkan juru bicara UNHCR di Bangladesh Vivian Tan memperkirakan, jumlah gelombang pengungsi muslim Rohingya mencapai 260 ribu.
Sejak serangan besar-besaran itu, tak ada cara lain bagi muslim Rohingya kecuali menggapai Bangladesh.
Ada yang menyusuri hutan belasan kilometer, namun terbanyak menggunakan perahu, melintasi Sungai Naf.
Namun, tiga hari terakhir, jalur itu ditutup oleh pemerintah Bangladesh setelah ada kapal pengungsi yang tenggelam.
Kini, para pengungsi terpaksa menerjang gelombang uintuk bisa ke pantai terdekat Bangladesh, yakni pantai Cox Bazar.
Begitu menyentuh tanah tepi, mereka disambut pengungsi lain, relawan serta warga setempat.
Mereka bahkan menawarkan telepon seluler secara cuma-cuma agar para pengungsi tersebut bisa mengabarkan kepada keluarganya bahwa mereka selamat.
Sedangkan para pengungsi duduk sepanjang hari di pantai itu untuk menunggu siapapun keluarga atau orang kampung mereka yang mungkin selamat dari neraka Rakhine.
Penantian itu kadang berbuah sia-sia, tetapi ada juga yang menjadi reuni keluarga yang mengharukan.
Satu di antaranya Rohima Khatun yang sudah berhari-hari duduk di pantai.
Hampir dua pekan sebelumnya, desa mereka di distrik Maungdaw diserang militer sehingga keluarga mereka kocar-kacir.
Dia berhasil menyeberang ke Bangladesh namun ia tak tahu, bagaimana sanak keluarganya yang lain.
Dan benar saja, Jumat (8/9/2017), beberapa kapal kayu sarat penumpang, menumpahkan seluruh bebannya ke tepi pantai.
Begitu menyentuh pasir pantai, mereka memperlihatkan ekspresi yang luar biasa.
Ada yang linglung, menangis, berteriak dan mengungkapkan berbagai syukur bahwa mereka masih hidup.
Di antara ratusan penumpang itu, ada sesosok laki-laki pincang.
Pemuda ini turun dari kapal keempat, terseok-seok dengan khaki yang infeksi.
Nabi Hasan, begitu nama pria ini, namanya langsung dipanggil oleh Rohima Khatun yang berlari ke arahnya
Nabi Hasan, begitu nama pria ini, namanya langsung dipanggil oleh Rohima Khatun yang berlari ke arahnya
Mereka kemudian berangkulan, dengan tersedu-sedu, menangis sejadi-jadinya.
"Ya Allah, Ya Allah," gumamnya terus-menerus.
"Saya tidak menyangka Tuhan mempertemukan kita lagi," kata Nabi Hasan sambil menyeka air mata kakak perempuannya.
Reuni mengharukan itu dilaporkan oleh wartawan BBC yang menyaksikan reuni keluarga itu.
"Desa kami diserang oleh militer," kata Hasan, "juga oleh Mogs," katanya merujuk pada komunitas etnis Buddhis garis keras di Rakhine.
Reuni keluarga itu memang pantas dirayakan dengan penuh perasaan karena di antara keluarga mereka, hanya Rohima dan Hasan yang selamat.
"Delapan anggota keluarga kami meninggal,” kata Nabi Hasan
Reuni yang indah juga dialami oleh Dil Bahar, perempuan berusia enam puluhan.
Dilempari bom
Ia menangis tak terkendali ketika tiba-tiba suaminya, Zakir Mamun, pria ringkih berjenggot tipis, sudah berdiri di belakangnya.
Seorang remaja laki-laki juga ada bersama mereka, lengannya dibalut karena luka.
"Dia cucuku, Mahbub," kata Dil Bahar. "Lengannya kena tembak saat lari.”
"Ini pembantaian," bisik Zakir Mamun kepada wartawan.
Desa mereka berada di Buthidaung, sekitar 50km dari perbatasan Bangladesh.
Serangan tersebut terjadi tiba-tiba dan tanpa peringatan apapun.
Para tentarea yang menyerang desa itu juga tidak tahu siapa yang mereka cari, menyerang siapa saja.
"Melalui pengera suara, tentara itu memerintahkan kami masuk rumah. Kemudian melemparkan bom ke rumah kami, membakarnya," cerita Zakir.
Ketika warga desa mencoba untuk pergi, para penyerang melepaskan tembakan.
"Orang-orang jatuh terjerembab terkena tembakan," kata Zakir. "Kami berlari ke gunung dan bersembunyi."
Tapi anaknya, ayah Mahbub, terbunuh.
"Sepanjang malam kami bisa mendengar suara tembakan dan melihat roiket-roket melintas\ dan meledak,” kata Zakir.
Keesokan paginya, mereka melihat desa mereka tinggal puing. Asap membumbung dari rumah-rumah yang membara.
Keluarga tersebut mengumpulkan berbagai peralatan yang tidak hancur, termasuk sisa padi yang berserakan, lalu pergi.
Mereka berjalan kaki selama 12 hari, melintasi dua gunung dan menembus hutan-hutan.
"Nasi kami habis pada hari kedelapan," kata Zakir. "Kami tidak makan apa-apa lagi, kami bertahan dengan menyantap tanaman dan minum air hujan."
Berbagai pengakuan tentang kejamnya tentara Myanmar di Rakhine memang sulit untuk dikonfirmasi.
Akses ke negara bagian Rakhine sangat mustahil.
Namun, militer Myanmar membantah semua tuduhan itu dan mengatakan bahwa mereka hanya memburu militan Rohingya yang menyerang pos polisi.
Masalahnya, para militan yang kabarnya berafiliasi dengan eks pejuang Taliban itu berlindung di balik muslim Rohingya.
Sumber: BBC