Asril, guru mengaji saat tampil dalam Festival Rabana se-Kabupaten Solok, belum lama ini. (Istimewa) |
Setiap hari, Asril mendayung
sepeda bututnya sejauh 3 km menuju Masjid Salayo. Aktivitas seperti
demikian sudah puluhan tahun dilakoninya demi mengajar mengaji untuk
ratusan santrinya di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA). Meski lelah,
namun rasa itu terobati ketika muridnya dapat melantunkan Alquran dengan
bacaan yang fasih dan irama yang merdu.
Riki Chandra, Solok
Sejak tahun 1993, Asril, memang sudah mengabdikan dirinya menjadi
guru mengaji untuk ratusan murid di MDA Masjid Raya Selayo, Kabupaten
Solok. Tidak saja di MDA, saban harinya Asril juga menjadi imam tetap di
Mushala Raudatul Jannah Sawahkandang sekaligus memberikan ilmu irama
(seni membaca Quran) pada generasi Islam.
Begitulah rutinitas yang dijalani Asril setiap hari sampai sekarang.
“Kalau dilakukan dengan ikhlas dan niat hanya karena Allah, kita akan
dilapangkan dan dijauhkan dari rasa lelah,” kata Asril di kediamanannya,
Sawahkandang, Jorong Batupalano, Kecamatan Kubung yang dilansir Padang Ekspres (Jawa Pos Group), Jumat (13/1).
Dia menceritakan, sebelum mengajar mengaji di MDA di Salayo, pria 47 tahun itu sudah memberikan ilmu mengaji di rumah orang tuanya di Mataair Sawah Kandang, Jorong Batupalano tahun 1987 silam. Kala itu, Asril masih berstatus siswa SMA atau Pendidikan Guru Agama (PGA) Kota Solok. “Tamat sekolah tahun 1989, saya pergi merantau, lantas pulang kampung lagi tahun 1992,” katanya.
Sepulang dari rantau, Asril tidak berdiam diri, dia langsung mengaktifkan Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) di mushala kediaman orang tuanya. Tak sampai setahun, TPQ ini juga disenangi murid-murid. Bahkan muridnya mencapai lebih dari 100 orang. “Yang saya ajarkan cuma ilmu tajwid dan sedikit-sedikit irama. Sebab, hanya itu yang saya bisa,” kata Asril.
Melihat geliat dan perkembangan Asril sebagai guru TPQ, pengurus Masjid Raya Selayo tertarik mengajaknya bergabung untuk menjadi salah seorang guru di MDA Selayo. Tak tanggung-tanggung. Saking tertariknya, pengurus tersebut mendatangi kediaman Asril yang berjarak sekitar 3 km dari Masjid Raya Selayo.
Lantas, Asril menerima tawaran tersebut, namun tetap menghidupkan TPQ di Mushalla Al Muthathahirin di Mataiar, Sawahkandang. “Kadang saya geser mengaji malam untuk murid di Mushalla Mataiar,” katanya.
Mulailah aktivitas baru Asril sebagai pengajar di MDA Salayo. Dia mengajar mulai pukul 16.00 hingga pukul 17.30 WIB. Saban hari Asril mendayung sepeda bututnya sejak puluhan tahun sejauh 3 km dari kediamannya menuju Masjid Salayo. Cara dia mengajar mengaji ini bagaikan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Umar Bakri.
“Sampai ada ojek pun saya tetap dengan sepeda. Sebab, saat itu hanya sepeda yang saya punya," kata suami Marsulena itu.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, selain mengajar MDA, anak kelima dari enam bersaudara ini juga bertani sawah. Kemudian, menjadi guru honorer SD hingga staf Badan Pembinaan, Penasehat dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Nagari Salayo. “Sewaktu tahun 93 itu, gaji saya di MDA hanya Rp 90 ribu,” katanya.
Namun, semua itu tidak jadi penghalang dan penghambat Asril terus memberikan ilmu pada generasi muda. Termasuk kepiawaiannya bermain biola untuk melatih Qasidah. “Selain mengaji, saya juga kerap melatih qasidah, terutama untuk perlombaan,” kata ayah 3 orang anak itu.
Puluhan tahun lamanya mengabdi di surau-surau tanpa pamrih, nasib berkata lain. Pengabdian Asril berbuah manis pada 2010, setelah masuk kategori honorer sebagai pelaku penyuluh agama aktif sejak bertahun-tahun. Dia lulus menjadi pegawai.
Kendati berstatuskan PNS namun tak lantas membuat Asril langsung berubah. Setidaknya, setelah 3 tahun berstatus pegawai, barulah Asril membeli 1 unit sepeda motor, itupun motor bekas. “Kerja saya juga sudah jauh, ke Kotobaru. Makanya perlu motor. Kalau dengan sepeda terlalu capek,” katanya.
Kendati demikian, sampai hari ini, Asril dulu tidak berubah. Tetap menjadi guru yang jarang terlambat di MDA Salayo, menjadi imam rutin di mushala. Serta menjadi contoh baik untuk anak-anaknya. “Saya ingin sampai akhir hayat mengajar mengaji. Itu yang bisa saya berikan untuk generasi," tutur Asril. (*/iil/JPG)
sumber : jawapos
Dia menceritakan, sebelum mengajar mengaji di MDA di Salayo, pria 47 tahun itu sudah memberikan ilmu mengaji di rumah orang tuanya di Mataair Sawah Kandang, Jorong Batupalano tahun 1987 silam. Kala itu, Asril masih berstatus siswa SMA atau Pendidikan Guru Agama (PGA) Kota Solok. “Tamat sekolah tahun 1989, saya pergi merantau, lantas pulang kampung lagi tahun 1992,” katanya.
Sepulang dari rantau, Asril tidak berdiam diri, dia langsung mengaktifkan Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) di mushala kediaman orang tuanya. Tak sampai setahun, TPQ ini juga disenangi murid-murid. Bahkan muridnya mencapai lebih dari 100 orang. “Yang saya ajarkan cuma ilmu tajwid dan sedikit-sedikit irama. Sebab, hanya itu yang saya bisa,” kata Asril.
Melihat geliat dan perkembangan Asril sebagai guru TPQ, pengurus Masjid Raya Selayo tertarik mengajaknya bergabung untuk menjadi salah seorang guru di MDA Selayo. Tak tanggung-tanggung. Saking tertariknya, pengurus tersebut mendatangi kediaman Asril yang berjarak sekitar 3 km dari Masjid Raya Selayo.
Lantas, Asril menerima tawaran tersebut, namun tetap menghidupkan TPQ di Mushalla Al Muthathahirin di Mataiar, Sawahkandang. “Kadang saya geser mengaji malam untuk murid di Mushalla Mataiar,” katanya.
Mulailah aktivitas baru Asril sebagai pengajar di MDA Salayo. Dia mengajar mulai pukul 16.00 hingga pukul 17.30 WIB. Saban hari Asril mendayung sepeda bututnya sejak puluhan tahun sejauh 3 km dari kediamannya menuju Masjid Salayo. Cara dia mengajar mengaji ini bagaikan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Umar Bakri.
“Sampai ada ojek pun saya tetap dengan sepeda. Sebab, saat itu hanya sepeda yang saya punya," kata suami Marsulena itu.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, selain mengajar MDA, anak kelima dari enam bersaudara ini juga bertani sawah. Kemudian, menjadi guru honorer SD hingga staf Badan Pembinaan, Penasehat dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Nagari Salayo. “Sewaktu tahun 93 itu, gaji saya di MDA hanya Rp 90 ribu,” katanya.
Namun, semua itu tidak jadi penghalang dan penghambat Asril terus memberikan ilmu pada generasi muda. Termasuk kepiawaiannya bermain biola untuk melatih Qasidah. “Selain mengaji, saya juga kerap melatih qasidah, terutama untuk perlombaan,” kata ayah 3 orang anak itu.
Puluhan tahun lamanya mengabdi di surau-surau tanpa pamrih, nasib berkata lain. Pengabdian Asril berbuah manis pada 2010, setelah masuk kategori honorer sebagai pelaku penyuluh agama aktif sejak bertahun-tahun. Dia lulus menjadi pegawai.
Kendati berstatuskan PNS namun tak lantas membuat Asril langsung berubah. Setidaknya, setelah 3 tahun berstatus pegawai, barulah Asril membeli 1 unit sepeda motor, itupun motor bekas. “Kerja saya juga sudah jauh, ke Kotobaru. Makanya perlu motor. Kalau dengan sepeda terlalu capek,” katanya.
Kendati demikian, sampai hari ini, Asril dulu tidak berubah. Tetap menjadi guru yang jarang terlambat di MDA Salayo, menjadi imam rutin di mushala. Serta menjadi contoh baik untuk anak-anaknya. “Saya ingin sampai akhir hayat mengajar mengaji. Itu yang bisa saya berikan untuk generasi," tutur Asril. (*/iil/JPG)
sumber : jawapos